:D

:D

hai :D

hai :D

Selasa, 04 Februari 2014

Asa

Decit suara kursi goyang itu sebenarnya mengusik telingaku. Wanita itu tak juga mengucap satu katapun. Dia sepertinya enggan menjawab semua pertanyaan-pertanyaanku. Dia terus saja mengayun kursi goyangnya senada dengan lantunan lagu yang keluar dari piringan-piringan hitam lebar itu.
“Aku harus sabar!! Aku harus sabar! Fiuh..” erangku dalam hati.
Tiba-tiba tangannya yang kurus kering keriput itu menggapai sebuah buku yang terletak disamping alat pemutar piringan hitam itu. Bukan, aku rasa bukan buku cerita atau buku yang lainnya, melainkan buku album. Album kenangan, kurasa.
Satu per satu lembaran dari album kenangan itu ia buka perlahan...
***
“Aku sama sekali tidak pernah mengira kalau dia memiliki rasa yang sama denganku...”
Aku masih saja melamun disela-sela pergantian jam pelajaran. Masih pukul sepuluh. Terlalu dini untuk mengakhiri jam sekolah. Butuh dua jam lagi untukku agar bisa keluar dari sini.
Dia janji denganku bahwa nanti sepulang sekolah akan mengajakku makan siang di restoran sushi dekat taman. Maka aku harus cepat-cepat pulang dan mengganti seragam SMU-ku dengan baju yang lebih menarik lagi.
“Aku yakin dia suka dengan penampilanku hari ini..” batinku tersipu-sipu saat berjalan menuju restoran sushi itu.
Cukup dengan sepuluh menit berjalan kaki saja aku bisa sampai tujuan. Fiuhh, cukup banyak kertas tisu yang aku butuhkan untuk mengusap keringatku.
Perlahan aku memasuki restoran itu, menoleh ke segala arah, mencari-cari sosoknya.
Baju putih dengan topi baseball hijau kebanggaannya. Akhirnya aku menemukan sosoknya. Duduk di sudut restoran dengan tangan kiri melambai-lambai ke arahku. Aku tersenyum dan membalas lambaian tanganya.
Duduk didepannya adalah suatu kebahagiaan tersendiri bagiku. Aku dapat melihat wajahnya dengan jelas tanpa harus sembunyi-sembunyi mencuri pandang di sekolah.
***
“Aku ingat sekali saat-saat dia mengucapkan itu. Dengan wajah berseri-seri aku menerimanya sebagai kekasihku.. uhuk, uhuk...” kata wanita renta itu sembari mengelus-elus dadanya yang sesak kurasa.
Kembali lagi dia membuka halaman album itu. Saat sampai pada satu gambar rumah, dia terlihat lesu.
Wajahnya tertunduk penuh kekecewaan memandangi foto itu. Kurasa foto itu mengingatkan dia pada suatu hal yang sebenarnya tidak ingin dia ingat-ingat lagi..
***
Saat akhir kelulusan dan perpisahan kelas, entah mengapa dia tak datang. Mataku menari-nari mencarinya. Bahkan saat namanya disebut sebagai lulusan terbaikpun dia tidak naik ke panggung. Entahlah, rasanya sesak bukan, ketika kau tahu bahwa saat hari bahagiamu ini tak ada orang spesial yang menemanimu.
Hari berikutnya aku tahu bahwa dia telah pindah rumah. Kupandangi rumah yang dulu dia tempati itu. Ada tanda kayu bertuliskan ‘dijual’ di depan pintu gerbang rumahnya.
Aku lalu berlari menuju bukit belakang sekolah yang dulu selalu kita datangi bersama.
Banyak sekali pertanyaan dalam benakku yang sama sekali aku tak tahu dimana dan kepada siapa aku bisa menemukan jawabannya.
Tepat dibawah pohon beringin yang rindang aku berhenti. Menatap daun-daunnya, menangkap sinar-sinar mentari yang berbondong-bondong jatuh melewati dedaunan.
Ahh, pedih mataku..
Aku menggeleng, kurasa bukan air mata yang menyebabkan mataku pedih. Ya, bukan air mata.
Aku meyakinkan diriku sendiri bahwa saat itu aku sedang tidak menangis. Hanya silau matahari saja..
Aku berusaha menenangkan batinku, tapi pundakku justru semakin berguncang.
Aku tertunduk lesu.
Aku hanya bisa menangis tersedu..
***
Ku genggam erat kedua tangannya sembari menguatkan batinnya..
***
Enam belas musim berlalu tanpa kabar darinya..
Aku tak tahu harus berbagi cerita ini dengan siapa lagi bila tanpa dia. Aku diterima di universitas ternama di Tokyo jurusan desain grafis. Banyak teman-teman priaku yang berkata aku manis dan cantik yang berujung ajakan dansa di klub-klub malam. Tidak ada yang seperti dia..
***
Aku bisa merasakan tangannya gemetar..
Kurasa dia mulai menandakan gejala-gejala Anxiety Disorder. Suatu gangguan kecemasan yang berlebihan dalam diri manusia. Ini masih dalam tahap ringan.
‘Pff..’ aku menarik napas panjang. Mencoba menenangkan diriku sendiri menghadapi wanita tua ini. ‘Aku bisa..’
***
Lima tahun kemudian datang seorang pria paruh baya menghampiri rumahku. Aku khawatir jangan-jangan pria itu punya maksud yang tidak baik.
Kubuka pintu rumahku dan kupersilakan dia masuk. Kusajikan ocha dalam cangkir dan teko kecil serta sejenis camilan jagung yang kubeli dua hari yang lalu. Aku pikir camilan jagung itu masih bagus.
“Aku tahu kau, Yume” katanya membuka pembicaraan.
Aku hanya tersenyum.
“Semua orang tahu aku, Ahjussi. Aku fotografer ternama di Jepang.”
“Jangan panggil aku dengan panggilan orang asing menggunakan aksen Hangul-mu seperti itu. Aku Tenma, kau lupa?”
Aku tercekat.
Entah mengapa sedetik kemudian aku merasa bahagia. Bukan, maksudku sedih. Bukan, kurasa aku bimbang.
***
Tangannya bergetar semakin kencang.
Aku berusaha menenangkannya dengan menekan setiap ujung jari-jari tangannya.
“Lanjutkan saja..” kataku mencoba menuruti apa maunya.
***
Kami menikah dua tahun kemudian. Awalnya semua terasa menyenangkan. Tapi tahun demi tahun berlalu, aku rasa hubungan kami mulai diselimuti rasa khawatir. Kami belum juga dikaruniai anak. Sering aku meyakinkan dia bahwa ini semua akan baik-baik saja. Tapi dia selalu marah-marah. Dia bilang aku penyakitan.
Aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Aku yakin Tuhan punya alasan lain mengapa Dia menuliskan takdir hidupku seperti ini. Setiap malam aku selalu bertanya pada Tuhan, apa yang Ia inginkan sebenarnya. Aku selalu ditekan oleh kata-katanya yang sangat tajam.
Aku mungkin memang wanita penyakitan hingga tak bisa memberikan dia anak, tapi apakah ini yang memang selayaknya aku dapatkan dari seorang suamiku sendiri. Tiap malam tak ada yang mengetahui bahwa aku sering memukul-mukul perutku sendiri dan membentur-benturkan badanku ke tembok rumah kami.
Terasa sakit memang..
Tapi sungguh, ini tidak lebih sakit bila kau terus-terusan dihantam oleh perkataan-perkataan yang keji yang keluar dari mulut suamimu sendiri.
Lagi-lagi aku menangis..
Aku merasa tidak berguna menjadi seorang istri..
***
“Aku bahkan pernah mencoba terjun dari atap rumah kami. Tapi itu hanya membuatku luka berat saja. Tidak bisa membuatku mati..”
Aku memberinya secangkir ocha..
“Aku benar-benar tidak berguna..”
Wanita itu mengerang dan menjerit kencang. Aku berusaha mecegahnya agar tak melakukan hal-hal yang buruk.
Gelas ocha yang ada di tangannya kucoba merebutnya perlahan. Aku takut jika dia berusaha memecahkan gelas itu lalu menggunakan pecahan gelas untuk melukai dirinya sendiri. Tapi tetap saja tangannya berusaha memukul-mukul kepalanya dengan buku album kenangan setebal dua senti itu.
Aku mulai berkeringat menghadapi wanita ini.
Seorang pria tua masuk menghampiri kami dan mencoba menolongku menenangkan wanita ini.
“Semuanya akan baik-baik saja..” kata pria tersebut sembari menenangkan wanita tua itu.
Pria itu memeluk erat dan mencoba perlahan mengusap rambut wanita renta itu dengan lembut.
“Nona Jeanny D’cornell..”
Seorang pria paruh baya bersandar di pintu kamar, memanggilku dengan tegas. Aku berdiri. Mulai berjalan menghampirinya dan memberikan dia salam ala gadis Jepang. Pria paruh baya itu menatapku dengan tenang namun seakan-akan dia berkata ‘kemari kau gadis kecil’.
“Apa kesimpulan Anda tentang kasus ini?” tanyanya tiba-tiba.
“Kurasa dia mengidap skizofrenia, Sir. Dibuktikan dengan kecemasan yang berlebihan dan hasrat diri untuk menyakiti tubuhnya sendiri. Sering dikatakan Self-Injury, Sir.”
Pria paruh baya itu mulai mengeluarkan buku catatan kecil dan sebuah bolpoin dari dalam sakunya.
“...kesimpulan dan argumen Anda kali ini tepat. Selamat, Anda berhasil menyelesaikan ujian ini. Aku rasa aku tidak akan sabar menantimu di upacara pelepasan nanti. Kuharap kau jadi mahasiswa terbaik tahun ini, Jean!” lanjutnya.
Lelaki itu menepuk pundakku lalu pergi meninggalkanku. Hanya senyum bahagia yang mengembang di wajahku.
***
“Kau tahu, lalu aku akan jadi lulusan terbaik tahun ini. Yeahh!!!” teriak Jean pada Yeon.
“Jean, kau sudah gagal tiga kali dalam ujian. Mana mungkin kau bisa berhasil menangani kasus ini. Wanita tua, renta, keriput, dengan penyakit jiwanya yang menakutkan, ohhh aku rasa kau akan gagal lagi dalam ujian kali ini.”
“Yeon! Asal kau tahu, aku akan menangani wanita renta gila itu dengan baik. Lalu aku akan menerangkan pada Sir Phillips tentang kesimpulan dan argumenku seperti yang aku ceritakan tadi padamu. Setelah itu dengan bangga Sir Phillips akan meluluskanku dalam ujian ini. Yeaaahhh!!!” teriak Jean sambil melompat kegirangan.
“Tak usah banyak mengigau, ceritamu tadi hanya omong kosong belaka. Sudah, persiapkan saja dirimu untuk ujian esok hari.”
“Tapi, Yeon, dengarkan aku sekali ini saja.. Hei! Aku janji aku pasti bisa membuktikan padamu bahwa aku bisa lulus ujian ini. Hei, Yeon! Jangan sembarangan pergi meninggalkan orang yang sedang berbicara padamu ya!! Hei!!”
***
“Jean! Jean! Jeanny! Kau tidur lagi?”
Suara ibu mengagetkanku.
Oahhhmm, apa aku tertidur lagi?
“Apa kau sedang mengerjakan tugas?” tanya ibu dengan lembut sambil mengusap rambutku.
“Mmh!” aku mengangguk perlahan. Masih terasa sisa-sisa kantukku.
“... Ibu Guru Lilly memberikanku tugas menulis cita-citaku di masa depan, Bu!” lanjutku.
Sekali lagi Ibu mengusap rambutku dengan senyum penuh kesabaran.
“Lalu Jean ingin menulis apa?” tanya Ibu lembut.
 “..Jean menulis, ingin jadi dokter seperti ayah!” jawabku bangga.


::: Dian Fitria Sari  04.02.2014 :::

0 komentar:

Posting Komentar

 

Template by Suck My Lolly - Background Image by TotallySevere.com