Decit suara kursi goyang itu
sebenarnya mengusik telingaku. Wanita itu tak juga mengucap satu katapun. Dia
sepertinya enggan menjawab semua pertanyaan-pertanyaanku. Dia terus saja
mengayun kursi goyangnya senada dengan lantunan lagu yang keluar dari
piringan-piringan hitam lebar itu.
“Aku harus sabar!! Aku harus
sabar! Fiuh..” erangku dalam hati.
Tiba-tiba tangannya yang kurus
kering keriput itu menggapai sebuah buku yang terletak disamping alat pemutar
piringan hitam itu. Bukan, aku rasa bukan buku cerita atau buku yang lainnya,
melainkan buku album. Album kenangan, kurasa.
Satu per satu lembaran dari
album kenangan itu ia buka perlahan...
***
“Aku sama sekali tidak pernah
mengira kalau dia memiliki rasa yang sama denganku...”
Aku masih saja melamun disela-sela pergantian
jam pelajaran. Masih pukul sepuluh. Terlalu dini untuk mengakhiri jam sekolah.
Butuh dua jam lagi untukku agar bisa keluar dari sini.
Dia janji denganku bahwa nanti sepulang sekolah
akan mengajakku makan siang di restoran sushi dekat taman. Maka aku harus
cepat-cepat pulang dan mengganti seragam SMU-ku dengan baju yang lebih menarik
lagi.
“Aku yakin dia suka dengan
penampilanku hari ini..” batinku tersipu-sipu saat berjalan menuju restoran sushi itu.
Cukup dengan sepuluh menit berjalan kaki saja
aku bisa sampai tujuan. Fiuhh, cukup banyak kertas tisu yang aku butuhkan untuk
mengusap keringatku.
Perlahan aku memasuki restoran itu, menoleh ke
segala arah, mencari-cari sosoknya.
Baju putih dengan topi baseball hijau
kebanggaannya. Akhirnya aku menemukan sosoknya. Duduk di sudut restoran dengan
tangan kiri melambai-lambai ke arahku. Aku tersenyum dan membalas lambaian
tanganya.
Duduk didepannya adalah suatu kebahagiaan
tersendiri bagiku. Aku dapat melihat wajahnya dengan jelas tanpa harus
sembunyi-sembunyi mencuri pandang di sekolah.
***
“Aku ingat sekali saat-saat
dia mengucapkan itu. Dengan wajah berseri-seri aku menerimanya sebagai
kekasihku.. uhuk, uhuk...” kata wanita renta itu sembari mengelus-elus dadanya
yang sesak kurasa.
Kembali lagi dia membuka
halaman album itu. Saat sampai pada satu gambar rumah, dia terlihat lesu.
Wajahnya tertunduk penuh
kekecewaan memandangi foto itu. Kurasa foto itu mengingatkan dia pada suatu hal
yang sebenarnya tidak ingin dia ingat-ingat lagi..
***
Saat akhir kelulusan dan perpisahan kelas,
entah mengapa dia tak datang. Mataku menari-nari mencarinya. Bahkan saat
namanya disebut sebagai lulusan terbaikpun dia tidak naik ke panggung.
Entahlah, rasanya sesak bukan, ketika kau tahu bahwa saat hari bahagiamu ini
tak ada orang spesial yang menemanimu.
Hari berikutnya aku tahu bahwa dia telah pindah
rumah. Kupandangi rumah yang dulu dia tempati itu. Ada tanda kayu bertuliskan
‘dijual’ di depan pintu gerbang rumahnya.
Aku lalu berlari menuju bukit belakang sekolah
yang dulu selalu kita datangi bersama.
Banyak sekali pertanyaan dalam benakku yang
sama sekali aku tak tahu dimana dan kepada siapa aku bisa menemukan jawabannya.
Tepat dibawah pohon beringin yang rindang aku
berhenti. Menatap daun-daunnya, menangkap sinar-sinar mentari yang
berbondong-bondong jatuh melewati dedaunan.
Ahh, pedih mataku..
Aku menggeleng, kurasa bukan air mata yang
menyebabkan mataku pedih. Ya, bukan air mata.
Aku meyakinkan diriku sendiri bahwa saat itu
aku sedang tidak menangis. Hanya silau matahari saja..
Aku berusaha menenangkan batinku, tapi pundakku
justru semakin berguncang.
Aku tertunduk lesu.
Aku hanya bisa menangis tersedu..
***
Ku genggam erat kedua
tangannya sembari menguatkan batinnya..
***
Enam belas musim berlalu tanpa kabar darinya..
Aku tak tahu harus berbagi cerita ini dengan
siapa lagi bila tanpa dia. Aku diterima di universitas ternama di Tokyo jurusan
desain grafis. Banyak teman-teman priaku yang berkata aku manis dan cantik yang
berujung ajakan dansa di klub-klub malam. Tidak ada yang seperti dia..
***
Aku bisa merasakan tangannya
gemetar..
Kurasa dia mulai menandakan
gejala-gejala Anxiety Disorder. Suatu gangguan kecemasan yang berlebihan dalam
diri manusia. Ini masih dalam tahap ringan.
‘Pff..’ aku menarik napas
panjang. Mencoba menenangkan diriku sendiri menghadapi wanita tua ini. ‘Aku
bisa..’
***
Lima tahun kemudian datang seorang pria paruh
baya menghampiri rumahku. Aku khawatir jangan-jangan pria itu punya maksud yang
tidak baik.
Kubuka pintu rumahku dan kupersilakan dia
masuk. Kusajikan ocha dalam cangkir dan teko kecil serta
sejenis camilan jagung yang kubeli dua hari yang lalu. Aku pikir camilan jagung
itu masih bagus.
“Aku tahu kau, Yume” katanya membuka
pembicaraan.
Aku hanya tersenyum.
“Semua orang tahu aku, Ahjussi. Aku fotografer ternama di Jepang.”
“Jangan panggil aku dengan panggilan orang
asing menggunakan aksen Hangul-mu seperti itu. Aku Tenma, kau
lupa?”
Aku tercekat.
Entah mengapa sedetik kemudian aku merasa
bahagia. Bukan, maksudku sedih. Bukan, kurasa aku bimbang.
***
Tangannya bergetar semakin
kencang.
Aku berusaha menenangkannya
dengan menekan setiap ujung jari-jari tangannya.
“Lanjutkan saja..” kataku
mencoba menuruti apa maunya.
***
Kami menikah dua tahun kemudian. Awalnya semua
terasa menyenangkan. Tapi tahun demi tahun berlalu, aku rasa hubungan kami
mulai diselimuti rasa khawatir. Kami belum juga dikaruniai anak. Sering aku
meyakinkan dia bahwa ini semua akan baik-baik saja. Tapi dia selalu
marah-marah. Dia bilang aku penyakitan.
Aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Aku yakin
Tuhan punya alasan lain mengapa Dia menuliskan takdir hidupku seperti ini.
Setiap malam aku selalu bertanya pada Tuhan, apa yang Ia inginkan sebenarnya.
Aku selalu ditekan oleh kata-katanya yang sangat tajam.
Aku mungkin memang wanita penyakitan hingga tak
bisa memberikan dia anak, tapi apakah ini yang memang selayaknya aku dapatkan
dari seorang suamiku sendiri. Tiap malam tak ada yang mengetahui bahwa aku
sering memukul-mukul perutku sendiri dan membentur-benturkan badanku ke tembok
rumah kami.
Terasa sakit memang..
Tapi sungguh, ini tidak lebih sakit bila kau
terus-terusan dihantam oleh perkataan-perkataan yang keji yang keluar dari
mulut suamimu sendiri.
Lagi-lagi aku menangis..
Aku merasa tidak berguna menjadi seorang
istri..
***
“Aku bahkan pernah mencoba
terjun dari atap rumah kami. Tapi itu hanya membuatku luka berat saja. Tidak
bisa membuatku mati..”
Aku memberinya secangkir
ocha..
“Aku benar-benar tidak
berguna..”
Wanita itu mengerang dan
menjerit kencang. Aku berusaha mecegahnya agar tak melakukan hal-hal yang
buruk.
Gelas ocha yang ada di
tangannya kucoba merebutnya perlahan. Aku takut jika dia berusaha memecahkan
gelas itu lalu menggunakan pecahan gelas untuk melukai dirinya sendiri. Tapi tetap saja tangannya berusaha
memukul-mukul kepalanya dengan buku album kenangan setebal dua senti itu.
Aku mulai berkeringat
menghadapi wanita ini.
Seorang pria tua masuk
menghampiri kami dan mencoba menolongku menenangkan wanita ini.
“Semuanya akan baik-baik
saja..” kata pria tersebut sembari menenangkan wanita tua itu.
Pria itu memeluk erat dan
mencoba perlahan mengusap rambut wanita renta itu dengan lembut.
“Nona Jeanny D’cornell..”
Seorang pria paruh baya
bersandar di pintu kamar, memanggilku dengan tegas. Aku berdiri. Mulai berjalan
menghampirinya dan memberikan dia salam ala gadis Jepang. Pria paruh baya itu
menatapku dengan tenang namun seakan-akan dia berkata ‘kemari kau gadis kecil’.
“Apa kesimpulan Anda tentang
kasus ini?” tanyanya tiba-tiba.
“Kurasa dia mengidap
skizofrenia, Sir. Dibuktikan dengan kecemasan yang berlebihan dan hasrat diri
untuk menyakiti tubuhnya sendiri. Sering dikatakan Self-Injury, Sir.”
Pria paruh baya itu mulai
mengeluarkan buku catatan kecil dan sebuah bolpoin dari dalam sakunya.
“...kesimpulan dan argumen
Anda kali ini tepat. Selamat, Anda berhasil menyelesaikan ujian ini. Aku rasa
aku tidak akan sabar menantimu di upacara pelepasan nanti. Kuharap kau jadi
mahasiswa terbaik tahun ini, Jean!” lanjutnya.
Lelaki itu menepuk pundakku
lalu pergi meninggalkanku. Hanya senyum bahagia yang mengembang di wajahku.
***
“Kau tahu, lalu aku akan jadi lulusan terbaik
tahun ini. Yeahh!!!” teriak Jean pada Yeon.
“Jean, kau sudah gagal tiga kali dalam ujian.
Mana mungkin kau bisa berhasil menangani kasus ini. Wanita tua, renta, keriput,
dengan penyakit jiwanya yang menakutkan, ohhh aku rasa kau akan gagal lagi
dalam ujian kali ini.”
“Yeon! Asal kau tahu, aku akan menangani wanita
renta gila itu dengan baik. Lalu aku akan menerangkan pada Sir Phillips tentang
kesimpulan dan argumenku seperti yang aku ceritakan tadi padamu. Setelah itu
dengan bangga Sir Phillips akan meluluskanku dalam ujian ini. Yeaaahhh!!!”
teriak Jean sambil melompat kegirangan.
“Tak usah banyak mengigau, ceritamu tadi hanya
omong kosong belaka. Sudah, persiapkan saja dirimu untuk ujian esok hari.”
“Tapi, Yeon, dengarkan aku sekali ini saja..
Hei! Aku janji aku pasti bisa membuktikan padamu bahwa aku bisa lulus ujian
ini. Hei, Yeon! Jangan sembarangan pergi meninggalkan orang yang sedang
berbicara padamu ya!! Hei!!”
***
“Jean! Jean! Jeanny! Kau
tidur lagi?”
Suara ibu mengagetkanku.
Oahhhmm, apa aku tertidur
lagi?
“Apa kau sedang mengerjakan
tugas?” tanya ibu dengan lembut sambil mengusap rambutku.
“Mmh!” aku mengangguk
perlahan. Masih terasa sisa-sisa kantukku.
“... Ibu Guru Lilly
memberikanku tugas menulis cita-citaku di masa depan, Bu!” lanjutku.
Sekali lagi Ibu mengusap
rambutku dengan senyum penuh kesabaran.
“Lalu Jean ingin menulis
apa?” tanya Ibu lembut.
“..Jean menulis, ingin
jadi dokter seperti ayah!” jawabku bangga.
::: Dian Fitria Sari 04.02.2014 :::
0 komentar:
Posting Komentar