TAKE YOUR
SAFETY BELT !!!!
Tanda itu
menyala-nyala merah menjerit melejit hingga telinga ini jengah dengan
kebisingannya. Orang-orang disekitarku mulai panik. Katup oksigen pembantu
nafas kami mulai dilepaskan dari langit-langit.
Mereka
berkata semua ini akan baik-baik saja sayangku. Kita hanya perlu berdoa agar
kita masih diberi kesempatan tuk menikmati indahnya matahari terbit di pantai
Kuta.
Aku
memelukmu, masih disini menjagamu.
Perempuan
yang saat landing tadi menjelaskan bagaimana cara menggunakan katup oksigen itu
datang sembari menenangkan orang-orang disekitarku.
Entahlah
kutukan apa yang datng menimpa kami saat ini. Tuhan, ini hari bahagiaku. Dan
akan lebih lengkap lagi bila tidak terjadi hal seperti ini hingga kami sampai
di tempat tujuan.
Kau menangis
dan berkata bahwa kau sangat mencintaiku.
Aku
memelukmu..
“Maaf, aku
tidak sanggup untuk melanjutkannya.”
“Apa
maksudmu? Hanya tinggal seminggu, sayang. Kau tidak berniat untuk-“
“..maaf, aku
terlambat. Aku hanya tidak ingin melakukannya dengan terpaksa.”
“Baik kalau
itu maumu. Baik kalau menurutmu kau lebih bahagia bila bersamanya...”
Aku kira
semuanya akan baik-baik saja..
Julia
maafkan aku, mungkin ini balasan dari Tuhan karena aku mengecewakanmu.
Aku terus
memeluk Anna sembari meyakinkan dia bahwa kita akan baik-baik saja.
Seorang
lelaki paruh baya yang duduk disebelahku mulai sesak nafas. Tangannya bingung
meraih katup oksigen yang sebenarnya hanya terletak tak jauh dari
atas
kepalanya. Aku membantunya memakaikan katup itu. Agak sedikit tenang sekarang.
Aku yakin
sekarang dia lebih baikan sekarang. Badannya yang gemuk sudah tidak
bergerak-gerak mengganggu duduk kami.
Menit
selanjutnya kulihat lagi dia sama sekali tidak bergerak. Aku bertanya pada
seluruh penumpang apakah ada yang berprofesi sebagai seorang dokter disini.
Namun sayang tidak ada jawaban sama sekali.
Kupanggil
perempuan yang tadi mengajarkan kami cara memakai katup oksigen itu. Wajahnya
tampak sayu ketika dia melihat lelaki itu. Dia melepas kembali katup oksigen
yang melekat pada diri lelaki itu sembari berdoa layaknya seorang Paus yang
mendoakan para jemaat saat natal. “Serangan jantung..” katanya.
Aku tercengang.
Orang-orang
mulai menjerit ketakutan, panik dan menangis berserah diri pada Yang Maha
Kuasa. Laju burung besi ini semakin cepat. Menukik tajam tak tentu arah.
Perempuan tadi sebenarnya juga sangat takut, tetapi dia berusaha menenangkan
semua penumpang.
“Nanti kalau
kita bulan madu, aku ingin naik pesawat, sayang. Menikmati dunia layaknya kita
memandang atlas.”
Sebenarnya
bukan kamu satu-satunya wanita yang berkata seperti itu padaku.
“Iya..”
jawabku datar.
Aku selalu
teringat Julia. Entah dengan siapa sekarang dia melanjutkan resepsi pernikahan
itu. Aku bahkan tidak hadir dalam upacaranya. Tidak pula mengucapkan selamat
menempuh hidup baru padanya. Dan aku juga tahu kalau dia sungguh tidak
mengharapkan kata-kata itu keluar dari mulutku untuknya.
Aku
memaklumi itu.
Aku hanya
memilih jalanku.
Kau berkata
bahwa semuanya akan berakhir, dan lagi-lagi kau berbicara tentang cinta.
Kuyakinkan
padamu bahwa semuanya tidak akan berakhir sampai disini.
Kita saling
memejamkan mata. Saat itu kutahu semuanya berhenti. Bukan dengan mulus. Aku
merasa termpar jauh seperti saat aku tidak sengaja mengiris daging asap yang
kau sajikan kemarin pagi dengan pisau dan garpu – entahlah itu karena pisaunya
yang kurang tajam atau masakanmu yang kurang empuk – daging itu terlempar jauh.
Jatuh hingga ke bawah meja.
Kuyakinkan
padamu bahwa Anna hanyalah sekadar teman kerja biasa. Dan kau mempercayainya.
Kau sama sekali tidak tahu bahwa telah benyak hal yang kulakukan bersamanya. tapi
aku lebih memilih diam.
Setelah
kubuka mataku, aku merasakan perih disana-sini. Entah apa yang terjadi, aku
kembali memejamkan mataku..
***
“...
terimakasih kau masih mau menjengukku.” sapaku dengan suara serak.
Kau datang
dengan senyum manis sama seperti saat kita pertama kali bertemu sebagai
karyawan baru. Perlahan kau duduk disampingku sembari meletakkan keranjang yang
berisi berbagai macam buah.
“Aku turut
berduka, Sam”
“Tidak apa,
mungkin memang sudah saatnya..” jawabku lirih.
Keheningan
tercipta diantara kami.
Kau duduk
disampingku dan aku hanya memperhatikanmu. Menikmati wajah yang sudah bukan
milikku lagi. Dan kau hanya memandang langit di luar jendela. Langit lepas..
Entahlah apa
yang kau pikirkan sekarang, aku tidak bisa menebaknya.
Seseorang
mengetuk pintu dan aku mempersilakannya masuk.
“..ohh,
kalau saja aku tahu disini ada toilet pribadi, aku tidak akan susah payah
mengantre di toilet umum. Fiuh..”
Dia menepuk
pundakku dan menyapaku seperti seakan-akan aku ini sahabat baiknya.
“Bagaimana
kabarmu, sob?”
“Seperti
yang kau lihat sekarang.. aku..”
“Maaf, bukan
maksudku mengingatkanmu padanya. Aku turut berduka..”
Hanya senyum
kecut yang tersungging di wajahku.
“Ohh, maaf,
Sam. Aku tidak bisa berlama-lama disini. Aku harus menghadiri rapat lagi. Luna
bisa menceramahiku bila aku terlambat datang.”
“Tentu saja.
Aku tidak akan membiarkanmu berlama-lama mendengar omelan-omelan si manajer tua
itu. Silakan..” kataku padanya.
“...oh, kau
juga. Kau tidak boleh membiarkannya pergi mengendarai mobilnya sendirian. Akan
sangat menyakitkan bila terjadi suatu hal yang tidak kau inginkan.”
“Tentu saja,
kawan. Aku yakin kau juga tidak akan lama terpuruk oleh kejadian ini. Cepat
sembuh!” jawabnya.
Kau pergi
meninggalkanku sendirian lagi di kamar ini. Ya, tentu saja kau pergi dengan
dia. Orang yang telah kau percayai untuk menjaga hatimu.
Aku kembali
menatap langit kosong di luar jendela sambil berusaha untuk tidak meneteskan
air mata.
Jika saja Julia
adalah wanita yang aku cintai..
Jika saja
Anna tidak pergi jauh..
Jika saja..
:: Dian
Fitria Sari - o2.o1.2o13 ::
0 komentar:
Posting Komentar