Brak!!
Lagi-lagi Rusmini menutup pintu dengan keras. Sepulang memulung dia tak
henti-hentinya mengomeli Lastri anak semata wayangnya itu. Anting-anting emas
yang bulan lalu dia beli di pasar telah hilang entah dimana. Dia menuduh putri tunggalnyalah
yang mencuri anting itu.
Dalam
bilik kamar mandi masih terdengar suara isak tangis Lastri. Dia benar-benar
merasa tersakiti. Tangan kirinya pun masih memerah karena guyuran air panas
dari ibunya dua hari lalu. Namun Lastri memang sudah tidak kaget lagi dengan
perlakuan ibunya yang begitu keras padanya. Masih membekas pula luka melepuh
setrika yang Rusmini tempelkan di lengan kanannya.
“Semenjak
ayahmu meninggal karena kecelakaan itu, sepertinya hidupmu tambah sengsara ya,
Tri. Ibumu nggak cuman marah-marah saja, tapi ditambah melukai kamu.” Kata
Yuyun teman sepermainan Lastri.
“Aku
nggak merasa hidupku sengsara kok, Yun. Ibuku sayang sama aku. Buktinya aku
masih disekolahkan sampai SMP. Kalau ibuku nggak sayang, mungkin aku sudah
terlantar nggak tahu tujuan hidup.” Lastri tersenyum.
“Tapi
apa kamu nggak takut dengan ibumu yang mudah marah?”
“Ibu
marah karena ibu sayang sama aku, Yun. Dia ingin anaknya jadi orang yang jujur
dan disiplin.”
“Tapi
kan kamu selalu...”
“Sudahlah,
Yun. Aku sayang kok, sama ibu. Aku yakin suatu saat nanti ibu akan terbuka
hatinya.”
Lastri
memang anak penurut. Dia selalu menerapkan ajaran-ajaran moral yang dia dapat
dari sekolah. Walaupun Rusmini sering memarahi dan menghajarnya dengan tanpa
alasan, dia tetap yakin bahwa seorang ibu pasti punya hasrat untuk melindungi
dan mendidik putrinya.
Pagi
ini seperti biasanya Rusmini meninggalkan rumah dengan membawa karung dan
tongkat pengambil sampah. Lastri hanya bisa duduk termenung di teras rumah kayu
miliknya sambil memandangi sang ibu yang pergi memulung mencari uang.
Hari
ini hari Minggu. Namun semangat belajar Lastri tak berhenti. Bergegas dia masuk
kamar dan mencari-cari buku bacaan yang dapat dia baca dan kerjakan
pertanyaan-pertanyaannya.
Tak
lama kemudian dia telah duduk di lantai dengan buku paket Bahasa Indonesia di
hadapannya. Dibukanya buku paket tersebut. Sedetik kemudian dia sudah hanyut
dalam sebuah bacaan berjudul Sesosok
Bunda.
Bacaan
tersebut menceritakan tentang sebuah keluarga kaya raya yang belum dikaruniai seorang
anak meski sudah menikah selama empat tahun. Sang istri selalu sedih setiap dia
melihat anak-anak kecil bermain di hadapannya. Setiap Hari Ibu, sang suami tak
pernah lupa untuk memberikannya kejutan-kejutan spesial.
“Mengapa
kamu selalu merayakan Hari Ibu denganku padahal aku sama sekali tidak bisa
menjadi seorang ibu?” tanya sang istri pada suaminya.
“Selama
kamu menjadi istriku, aku akan selalu merayakan Hari Ibu denganmu. Walau aku
juga tahu kita masih belum dikaruniai seorang anak, tapi di mataku, kamu tetap
sosok bunda pelengkap hidupku.” Terang sang suami.
Lastri
menengadahkan wajahnya ke atas. Bacaan tadi membuat pikirannya berlarian
kemana-mana. Terlintas juga memori-memori tentang ibunya yang telah bekerja
keras demi dirinya. Meskipun dia tak henti-hentinya disiksa oleh ibunya, Lastri
tetap menghargai dan menganggapnya sebagai ibu yang baik hati dan penuh
perhatian.
“Tuhan,
seperti itukah rasanya menjadi seorang ibu? Apakah seorang ibu selalu mencintai
anak-anaknya? Tuhan, apakah ibu juga seorang ibu yang seperti itu? Apakah dia
sangat mencintai aku seperti sosok ibu-ibu yang lainnya?”
Lastri
mengusap air matanya.
Perlahan
dia bangkit dan berjalan keluar kamar menuju dapur. Dilihatnya kalender bulan
ini. Jari-jemarinya terhenti pada angka 22.
“Lusa
adalah hari ibu..” gumamnya.
***
Suara
langkah kaki Lastri terdengar sedikit terseok-seok. Sepertinya dia agak
kesulitan berjalan karena rok seragam sekolahnya yang panjang.
“Kenapa
tiba-tiba kamu bolos sekolah dan mengajakku menemanimu memulung, Tri? Biasanya
kamu selalu mementingkan sekolah.” Tanya Yuyun heran.
Lastri
hanya tersenyum simpul.
“Heh,
jangan hanya senyum. Jawab pertanyaanku, dong. Kamu sama sekali belum pernah
memulung dengan memakai seragam sekolah seperti ini. Apa kamu nggak malu kalau
teman-temanmu ada yang tahu? Lalu apa ibumu nggak marah? Nanti kamu disiram air
panas lagi, lho.”
“Aku
bisa jamin kalau ibu nggak akan tahu aku bolos sekolah.” Jawabnya singkat
sembari melanjutkan pekerjaannya.
Sungguh
mengherankan memang. Lastri yang selalu disiplin, tiba-tiba bolos sekolah hanya
untuk memulung sampah. Tapi keinginannya sudah sangat kuat. Dia ingin
membelikan ibunya kerudung baru dan memberikannya saat perayaan Hari Ibu esok
lusa. Lastri yakin sang ibu pasti senang.
***
Malam
pun tiba, saatnya Lastri pulang membawa hasil jerih payah memulung sampah
sehari penuh beserta kerudung hijau muda yang sengaja dia beli untuk kado di
Hari Ibu besok pagi.
“Dasar
anak nggak tahu diri!!” bentak Rusmini sesampainya Lastri di rumah.
“Ibu..”
Lastri merintih kesakitan saat punggungnya tiba-tiba dipukul dengan rantang
makanan.
“Kenapa
kamu bolos sekolah, hah? Kamu anak yang nggak tahu terima kasih. Anak yang
nggak bisa balas budi. Aku cari uang susah-susah buat bayar sekolahmu.” Suara
Rusmini semakin meninggi dan pukulan rantangnya semakin keras pula.
“Maaf
bu..” Lastri sesenggukan menahan tangis.
“Kalau
saja bapakmu itu nggak daftarin kamu ke SMP, pasti aku nggak akan sengsara cari
uang buat bayar sekolahmu seperti sekarang ini! Bapakmu memang nggak pernah bercermin.
Dia nggak sadar kalau menyekolahkan anaknya berarti menyengsarakan dirinya
sendiri. Sekarang bapakmu mati, siapa yang tanggung jawab membayar sekolahmu
kalau bukan aku? Kamu ikut mati saja menyusul bapakmu!!”
Brakk!!
Rantang
makanan tadi dibanting Rusmini ke arah Lastri.
“Kamu
malam ini tidur di luar saja!!!” Rusmini lalu mendorong tubuh Lastri keluar
rumah dan mengunci pintu rumah.
“Ibu..”
air mata Lastri pecah juga.
Terpaksa
malam ini dia tidur di luar rumah karena dia sama sekali tidak berani membantah
perintah ibunya. Bukan berarti dia takut akan amarah sang ibu, tapi dia takut
kalau dia menjadi seorang anak durhaka.
Dia
membuka lagi plastik yang berisi kerudung hijau muda yang dia beli tadi siang
dari hasil jerih payah memulungnya. Dirabanya pernak-pernik mutiara palsu yang
menghiasi kerudung itu.
“Ibu
pasti suka..” gumamnya pelan.
Sekilas
dia teringat untuk membungkus kerudung itu agar ibunya semakin suka dengan
pemberiannya itu. Maka berjalanlah dia menuju warung terdekat yang menjual
kertas kado.
Tak
lama kemudian dia sampai di rumah dengan membawa selembar kertas kado
bermotifkan bunga-bunga dan sebuah selotip.
Senyum
bahagia tersungging di wajahnya saat dia membungkus kerudung itu.
Waktu
masih menunjukkan pukul delapan malam. Namun rasa kantuk Lastri sungguh tak
bisa dibendung lagi. Dibersihkannya pelataran rumah yang akan dia gunakan untuk
tidur. Lalu diambilnya petromaks yang menggantung diatas jendela rumah.
Dia
tidur tanpa alas dan selimut, serta hanya ditemani lampu petromaks yang ada disebelahnya.
Sesungguhnya Lastri begitu takut akan kegelapan. Dia berharap ada sesosok ibu
yang menemaninya tidur dan membelai rambutnya seperti yang dilakukan ibu-ibu
pada umumnya. Namun rasanya itu semua hanya imajinasinya yang tak kunjung
terwujud.
***
“Lastri!
Lastri! Bangun! Ayo bangun cepetan! Rumahmu kebakaran, nak!” teriak salah
seorang tetangganya yang tiba-tiba membangunkannya.
Hari
masih gelap, tetapi cahaya terang justru muncul dari rumahnya. Sebenarnya bukan
cahaya, lebih tepatnya api.
Lastri
berlari menjauhi rumahnya. Dari luar tampak tetangga-tetangganya bergantian
mengambil air untuk memadamkan api tersebut. Lastri ternganga melihat api yang
berkobar melahap jendela rumahnya.
Sekilas
dia teringat bahwa ibunya masih tidur di dalam rumah dan kado untuk ibunya
masih tertinggal di tempat dia berbaring tidur.
Berlarilah
dia menuju ke rumahnya yang terbakar. Semua warga tak henti-hentinya berteriak
pada Lastri untuk menjauhi rumahnya yang terbakar itu. Namun Lastri tetap
berlari menyelamatkan ibu dan kadonya.
***
“Anak
bodoh!!” teriak Rusmini pada Lastri.
“Baru
semalam aku memarahimu karena kamu bolos sekolah. Sekarang kamu balas dendam
sama ibumu dengan cara membakar rumahmu, begitu? Atau kamu malu punya rumah
hanya terbuat dari kayu?” lanjutnya.
Lastri
hanya diam. Dia sama sekali tak tahu harus berbuat apa. Kalau saja dia
mengatakan yang sebenarnya, pastilah Rusmini tak akan mempercayainya.
“Maaf,
bu..” jawab Lastri sembari menundukkan kepala.
“Kamu
sudah menghancurkan semua yang kita miliki!! Sekarang kamu lihat! Kita hanya
bisa menumpang di rumah tetangga. Memalukan sekali. Dasar kamu anak tidak
berguna!!” amarah Rusmini semakin meledak-ledak.
Diraihnya
rambut Lastri dan dibawanya ke depan rumah tetangga yang mereka tumpangi. Sang
pemilik rumah hanya bisa ketakutan melihat Rusmini yang marah.
“Kamu
anak nggak berguna!!” Rusmini berteriak kencang sambil menarik rambut Lastri.
“Biar
kamu mati saja menyusul bapakmu!!”
Dari
tangan kanannya terlihat dia sedang berusaha menyalakan korek api gas dan
tangan kirinya masih menarik-narik rambut Lastri.
“Rus,
sabar. Jangan terbawa emosi.” Tetangga-tetangga mulai panik.
Pak
RT setempat juga datang dan berusaha menenangkan amarah Rusmini. Namun
seakan-akan Rusmini tak mendengarkan apa yang mereka katakan, dia tetap
berusaha menyalakan korek api gas yang ada di tangan kanannya.
Tak
lama kemudian korek api tersebut berhasil dinyalakan. Ibu-ibu tetangga yang
melihatnya berteriak histeris menyaksikan apa yang akan dilakukan Rusmini
terhadap anaknya. Sedangkan Pak RT dan bapak-bapak lainnya berusaha menangkap
Rusmini agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Namun
kelihatannya semua itu sia-sia. Korek api yang ada di tangan Rusmini telah
berhasil membakar rambut dan sebagian baju Lastri.
Lastri
hanya bisa menangis dan mengerang merasakan panasnya api yang membakar baju dan
rambutnya.
“Hahaha!!
Kamu menyusul bapakmu saja sana!!” Rusmini tertawa bangga.
Pak
RT dan bapak-bapak lainnya menangkap Rusmini dan membawanya menjauhi Lastri.
Sedangkan warga lain menyelamatkan Lastri dari kobaran api yang hampir membakar
tubuhnya.
***
Pagi
itu Lastri terbangun karena dia mendengar suara perempuan mengaji.
“Kamu
nggak apa-apa, Tri?” tanya Bu Jum.
Lastri
mengangguk pelan. “Ibu dimana, Bu Jum?”
“Kamu
mau lihat ibumu?” Bu Jum terlihat cemas.
“Iya
bu..”
Perlahan
Bu Jum membantu Lastri untuk bangun dan berjalan menuju tempat dimana Rusmini
berada.
“Itu
bungkusan apa, Nduk?”
“Ini
kado..” Lastri tersenyum simpul.
Sepuluh
menit kemudian mereka berdua sampai di sebuah tempat bekas kandang kuda.
“Masuk
saja. Saya nunggu Nduk Lastri dari
luar saja.”
“Iya
bu.”
Perlahan
Lastri melangkah memasuki tempat tersebut. Terlihat ibunya sedang duduk termenung
dengan tangan kanan dan kaki kanan diikat di sebuah kayu.
“Ibu,
ini Lastri..” sapanya pelan.
Rusmini
bangun.
“Ini
kado buat ibu.” Lastri membuka isi kado tersebut dan memberikannya pada sang
ibu.
“Ibu
bisa pakai untuk bekerja. Bagus, kan? Ada mutiara-mutiaranya disini.” Lanjutnya
sembari mendekati Rusmini.
“Kamu..”
mata Rusmini tiba-tiba terbelalak. Dia berusaha bangkit dan meraih tubuh Lastri
yang sedang mendekatinya.
Ditariknya
baju Lastri dan didorongnya hingga Lastri terpental ke bilik kayu.
“Kamu!!
Kamuu!!!” Rusmini berteriak kencang.
Bu
Jum yang melihatnya langsung bergegas memanggil warga lain untuk menenangkan
Rusmini.
Rusmini
masih saja menyiksa Lastri. Dia menarik-narik baju Lastri dan kakinya
menendangi dada Lastri.
“Kamu!!!”
teriaknya marah.
Tubuh
Lastri yang semula memang masih lemah, sekarang semakin memburuk. Dadanya yang
berkali-kali ditendang oleh Rusmini menambah kesakitan yang dideritanya. Warga
pun berdatangan menahan amarah Rusmini.
Nafas
Lastri mulai tak teratur. Pandangannya pun tak jelas. Kedua tangannya memegang
dada dan menahan semua rasa sakit yang dialaminya.
“Ibu,
selamat hari Ibu..” ucapnya lirih.
“Nduk Lastri!! Nduk Lastri!!” suara Bu Jum semakin tak terdengar lagi di telinga
Lastri...
***
Seburuk dan sekotor apapun itu, sebuah emas tetaplah
emas. Logam mulia yang selalu disanjung tinggi.
0 komentar:
Posting Komentar