:D

:D

hai :D

hai :D

Senin, 02 Juni 2014

Rusmini Tetap Marah


Brak!! Lagi-lagi Rusmini menutup pintu dengan keras. Sepulang memulung dia tak henti-hentinya mengomeli Lastri anak semata wayangnya itu. Anting-anting emas yang bulan lalu dia beli di pasar telah hilang entah dimana. Dia menuduh putri tunggalnyalah yang mencuri anting itu.
Dalam bilik kamar mandi masih terdengar suara isak tangis Lastri. Dia benar-benar merasa tersakiti. Tangan kirinya pun masih memerah karena guyuran air panas dari ibunya dua hari lalu. Namun Lastri memang sudah tidak kaget lagi dengan perlakuan ibunya yang begitu keras padanya. Masih membekas pula luka melepuh setrika yang Rusmini tempelkan di lengan kanannya.
“Semenjak ayahmu meninggal karena kecelakaan itu, sepertinya hidupmu tambah sengsara ya, Tri. Ibumu nggak cuman marah-marah saja, tapi ditambah melukai kamu.” Kata Yuyun teman sepermainan Lastri.
“Aku nggak merasa hidupku sengsara kok, Yun. Ibuku sayang sama aku. Buktinya aku masih disekolahkan sampai SMP. Kalau ibuku nggak sayang, mungkin aku sudah terlantar nggak tahu tujuan hidup.” Lastri tersenyum.
“Tapi apa kamu nggak takut dengan ibumu yang mudah marah?”
“Ibu marah karena ibu sayang sama aku, Yun. Dia ingin anaknya jadi orang yang jujur dan disiplin.”
“Tapi kan kamu selalu...”
“Sudahlah, Yun. Aku sayang kok, sama ibu. Aku yakin suatu saat nanti ibu akan terbuka hatinya.”
Lastri memang anak penurut. Dia selalu menerapkan ajaran-ajaran moral yang dia dapat dari sekolah. Walaupun Rusmini sering memarahi dan menghajarnya dengan tanpa alasan, dia tetap yakin bahwa seorang ibu pasti punya hasrat untuk melindungi dan mendidik putrinya.
Pagi ini seperti biasanya Rusmini meninggalkan rumah dengan membawa karung dan tongkat pengambil sampah. Lastri hanya bisa duduk termenung di teras rumah kayu miliknya sambil memandangi sang ibu yang pergi memulung mencari uang.
Hari ini hari Minggu. Namun semangat belajar Lastri tak berhenti. Bergegas dia masuk kamar dan mencari-cari buku bacaan yang dapat dia baca dan kerjakan pertanyaan-pertanyaannya.
Tak lama kemudian dia telah duduk di lantai dengan buku paket Bahasa Indonesia di hadapannya. Dibukanya buku paket tersebut. Sedetik kemudian dia sudah hanyut dalam sebuah bacaan berjudul Sesosok Bunda.
Bacaan tersebut menceritakan tentang sebuah keluarga kaya raya yang belum dikaruniai seorang anak meski sudah menikah selama empat tahun. Sang istri selalu sedih setiap dia melihat anak-anak kecil bermain di hadapannya. Setiap Hari Ibu, sang suami tak pernah lupa untuk memberikannya kejutan-kejutan spesial.
“Mengapa kamu selalu merayakan Hari Ibu denganku padahal aku sama sekali tidak bisa menjadi seorang ibu?” tanya sang istri pada suaminya.
“Selama kamu menjadi istriku, aku akan selalu merayakan Hari Ibu denganmu. Walau aku juga tahu kita masih belum dikaruniai seorang anak, tapi di mataku, kamu tetap sosok bunda pelengkap hidupku.” Terang sang suami.
Lastri menengadahkan wajahnya ke atas. Bacaan tadi membuat pikirannya berlarian kemana-mana. Terlintas juga memori-memori tentang ibunya yang telah bekerja keras demi dirinya. Meskipun dia tak henti-hentinya disiksa oleh ibunya, Lastri tetap menghargai dan menganggapnya sebagai ibu yang baik hati dan penuh perhatian.
“Tuhan, seperti itukah rasanya menjadi seorang ibu? Apakah seorang ibu selalu mencintai anak-anaknya? Tuhan, apakah ibu juga seorang ibu yang seperti itu? Apakah dia sangat mencintai aku seperti sosok ibu-ibu yang lainnya?”
Lastri mengusap air matanya.
Perlahan dia bangkit dan berjalan keluar kamar menuju dapur. Dilihatnya kalender bulan ini. Jari-jemarinya terhenti pada angka 22.
“Lusa adalah hari ibu..” gumamnya.
***
Suara langkah kaki Lastri terdengar sedikit terseok-seok. Sepertinya dia agak kesulitan berjalan karena rok seragam sekolahnya yang panjang.
“Kenapa tiba-tiba kamu bolos sekolah dan mengajakku menemanimu memulung, Tri? Biasanya kamu selalu mementingkan sekolah.” Tanya Yuyun heran.
Lastri hanya tersenyum simpul.
“Heh, jangan hanya senyum. Jawab pertanyaanku, dong. Kamu sama sekali belum pernah memulung dengan memakai seragam sekolah seperti ini. Apa kamu nggak malu kalau teman-temanmu ada yang tahu? Lalu apa ibumu nggak marah? Nanti kamu disiram air panas lagi, lho.”
“Aku bisa jamin kalau ibu nggak akan tahu aku bolos sekolah.” Jawabnya singkat sembari melanjutkan pekerjaannya.
Sungguh mengherankan memang. Lastri yang selalu disiplin, tiba-tiba bolos sekolah hanya untuk memulung sampah. Tapi keinginannya sudah sangat kuat. Dia ingin membelikan ibunya kerudung baru dan memberikannya saat perayaan Hari Ibu esok lusa. Lastri yakin sang ibu pasti senang.
***
Malam pun tiba, saatnya Lastri pulang membawa hasil jerih payah memulung sampah sehari penuh beserta kerudung hijau muda yang sengaja dia beli untuk kado di Hari Ibu besok pagi.
“Dasar anak nggak tahu diri!!” bentak Rusmini sesampainya Lastri di rumah.
“Ibu..” Lastri merintih kesakitan saat punggungnya tiba-tiba dipukul dengan rantang makanan.
“Kenapa kamu bolos sekolah, hah? Kamu anak yang nggak tahu terima kasih. Anak yang nggak bisa balas budi. Aku cari uang susah-susah buat bayar sekolahmu.” Suara Rusmini semakin meninggi dan pukulan rantangnya semakin keras pula.
“Maaf bu..” Lastri sesenggukan menahan tangis.
“Kalau saja bapakmu itu nggak daftarin kamu ke SMP, pasti aku nggak akan sengsara cari uang buat bayar sekolahmu seperti sekarang ini! Bapakmu memang nggak pernah bercermin. Dia nggak sadar kalau menyekolahkan anaknya berarti menyengsarakan dirinya sendiri. Sekarang bapakmu mati, siapa yang tanggung jawab membayar sekolahmu kalau bukan aku? Kamu ikut mati saja menyusul bapakmu!!”
Brakk!!
Rantang makanan tadi dibanting Rusmini ke arah Lastri.
“Kamu malam ini tidur di luar saja!!!” Rusmini lalu mendorong tubuh Lastri keluar rumah dan mengunci pintu rumah.
“Ibu..” air mata Lastri pecah juga.
Terpaksa malam ini dia tidur di luar rumah karena dia sama sekali tidak berani membantah perintah ibunya. Bukan berarti dia takut akan amarah sang ibu, tapi dia takut kalau dia menjadi seorang anak durhaka.
Dia membuka lagi plastik yang berisi kerudung hijau muda yang dia beli tadi siang dari hasil jerih payah memulungnya. Dirabanya pernak-pernik mutiara palsu yang menghiasi kerudung itu.
“Ibu pasti suka..” gumamnya pelan.
Sekilas dia teringat untuk membungkus kerudung itu agar ibunya semakin suka dengan pemberiannya itu. Maka berjalanlah dia menuju warung terdekat yang menjual kertas kado.
Tak lama kemudian dia sampai di rumah dengan membawa selembar kertas kado bermotifkan bunga-bunga dan sebuah selotip.
Senyum bahagia tersungging di wajahnya saat dia membungkus kerudung itu.
Waktu masih menunjukkan pukul delapan malam. Namun rasa kantuk Lastri sungguh tak bisa dibendung lagi. Dibersihkannya pelataran rumah yang akan dia gunakan untuk tidur. Lalu diambilnya petromaks yang menggantung diatas jendela rumah.
Dia tidur tanpa alas dan selimut, serta hanya ditemani lampu petromaks yang ada disebelahnya. Sesungguhnya Lastri begitu takut akan kegelapan. Dia berharap ada sesosok ibu yang menemaninya tidur dan membelai rambutnya seperti yang dilakukan ibu-ibu pada umumnya. Namun rasanya itu semua hanya imajinasinya yang tak kunjung terwujud.
***
“Lastri! Lastri! Bangun! Ayo bangun cepetan! Rumahmu kebakaran, nak!” teriak salah seorang tetangganya yang tiba-tiba membangunkannya.
Hari masih gelap, tetapi cahaya terang justru muncul dari rumahnya. Sebenarnya bukan cahaya, lebih tepatnya api.
Lastri berlari menjauhi rumahnya. Dari luar tampak tetangga-tetangganya bergantian mengambil air untuk memadamkan api tersebut. Lastri ternganga melihat api yang berkobar melahap jendela rumahnya.
Sekilas dia teringat bahwa ibunya masih tidur di dalam rumah dan kado untuk ibunya masih tertinggal di tempat dia berbaring tidur.
Berlarilah dia menuju ke rumahnya yang terbakar. Semua warga tak henti-hentinya berteriak pada Lastri untuk menjauhi rumahnya yang terbakar itu. Namun Lastri tetap berlari menyelamatkan ibu dan kadonya.
***
“Anak bodoh!!” teriak Rusmini pada Lastri.
“Baru semalam aku memarahimu karena kamu bolos sekolah. Sekarang kamu balas dendam sama ibumu dengan cara membakar rumahmu, begitu? Atau kamu malu punya rumah hanya terbuat dari kayu?” lanjutnya.
Lastri hanya diam. Dia sama sekali tak tahu harus berbuat apa. Kalau saja dia mengatakan yang sebenarnya, pastilah Rusmini tak akan mempercayainya.
“Maaf, bu..” jawab Lastri sembari menundukkan kepala.
“Kamu sudah menghancurkan semua yang kita miliki!! Sekarang kamu lihat! Kita hanya bisa menumpang di rumah tetangga. Memalukan sekali. Dasar kamu anak tidak berguna!!” amarah Rusmini semakin meledak-ledak.
Diraihnya rambut Lastri dan dibawanya ke depan rumah tetangga yang mereka tumpangi. Sang pemilik rumah hanya bisa ketakutan melihat Rusmini yang marah.
“Kamu anak nggak berguna!!” Rusmini berteriak kencang sambil menarik rambut Lastri.
“Biar kamu mati saja menyusul bapakmu!!”
Dari tangan kanannya terlihat dia sedang berusaha menyalakan korek api gas dan tangan kirinya masih menarik-narik rambut Lastri.
“Rus, sabar. Jangan terbawa emosi.” Tetangga-tetangga mulai panik.
Pak RT setempat juga datang dan berusaha menenangkan amarah Rusmini. Namun seakan-akan Rusmini tak mendengarkan apa yang mereka katakan, dia tetap berusaha menyalakan korek api gas yang ada di tangan kanannya.
Tak lama kemudian korek api tersebut berhasil dinyalakan. Ibu-ibu tetangga yang melihatnya berteriak histeris menyaksikan apa yang akan dilakukan Rusmini terhadap anaknya. Sedangkan Pak RT dan bapak-bapak lainnya berusaha menangkap Rusmini agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Namun kelihatannya semua itu sia-sia. Korek api yang ada di tangan Rusmini telah berhasil membakar rambut dan sebagian baju Lastri.
Lastri hanya bisa menangis dan mengerang merasakan panasnya api yang membakar baju dan rambutnya.
“Hahaha!! Kamu menyusul bapakmu saja sana!!” Rusmini tertawa bangga.
Pak RT dan bapak-bapak lainnya menangkap Rusmini dan membawanya menjauhi Lastri. Sedangkan warga lain menyelamatkan Lastri dari kobaran api yang hampir membakar tubuhnya.
***
Pagi itu Lastri terbangun karena dia mendengar suara perempuan mengaji.
“Kamu nggak apa-apa, Tri?” tanya Bu Jum.
Lastri mengangguk pelan. “Ibu dimana, Bu Jum?”
“Kamu mau lihat ibumu?” Bu Jum terlihat cemas.
“Iya bu..”
Perlahan Bu Jum membantu Lastri untuk bangun dan berjalan menuju tempat dimana Rusmini berada.
“Itu bungkusan apa, Nduk?
“Ini kado..” Lastri tersenyum simpul.
Sepuluh menit kemudian mereka berdua sampai di sebuah tempat bekas kandang kuda.
“Masuk saja. Saya nunggu Nduk Lastri dari luar saja.”
“Iya bu.”
Perlahan Lastri melangkah memasuki tempat tersebut. Terlihat ibunya sedang duduk termenung dengan tangan kanan dan kaki kanan diikat di sebuah kayu.
“Ibu, ini Lastri..” sapanya pelan.
Rusmini bangun.
“Ini kado buat ibu.” Lastri membuka isi kado tersebut dan memberikannya pada sang ibu.
“Ibu bisa pakai untuk bekerja. Bagus, kan? Ada mutiara-mutiaranya disini.” Lanjutnya sembari mendekati Rusmini.
“Kamu..” mata Rusmini tiba-tiba terbelalak. Dia berusaha bangkit dan meraih tubuh Lastri yang sedang mendekatinya.
Ditariknya baju Lastri dan didorongnya hingga Lastri terpental ke bilik kayu.
“Kamu!! Kamuu!!!” Rusmini berteriak kencang.
Bu Jum yang melihatnya langsung bergegas memanggil warga lain untuk menenangkan Rusmini.
Rusmini masih saja menyiksa Lastri. Dia menarik-narik baju Lastri dan kakinya menendangi dada Lastri.
“Kamu!!!” teriaknya marah.
Tubuh Lastri yang semula memang masih lemah, sekarang semakin memburuk. Dadanya yang berkali-kali ditendang oleh Rusmini menambah kesakitan yang dideritanya. Warga pun berdatangan menahan amarah Rusmini.
Nafas Lastri mulai tak teratur. Pandangannya pun tak jelas. Kedua tangannya memegang dada dan menahan semua rasa sakit yang dialaminya.
“Ibu, selamat hari Ibu..” ucapnya lirih.
Nduk Lastri!! Nduk Lastri!!” suara Bu Jum semakin tak terdengar lagi di telinga Lastri...
***
Seburuk dan sekotor apapun itu, sebuah emas tetaplah emas. Logam mulia yang selalu disanjung tinggi.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Template by Suck My Lolly - Background Image by TotallySevere.com