Denting jam sudah menunjukkan pukul
lima. Fajar menyingsing dan surya pun perlahan mengintip memancarkan semerbak
sinarnya yang menyapu embun di setiap helai daun-daun pepohonan.
Sejuknya embun pagi nampaknya tak
mampu segarkan ruang pengap Sandi. Dinding-dindingnya bagaikan dipenuhi
lumut-lumut pengharapan yang tak kunjung tersampaikan. Dalam sudut ruang itulah duduk seorang lelaki dewasa berambut gondrong dan berkacamata tebal.
Kusut masam rambut dan pakaiannya memerlihatkan akan kegelisahannya pada
secarik kertas. Diletakkannya kacamata tebal itu diatas ubun-ubunnya hingga bisa menyibakkan rambut ikalnya.
Sesaat Sandi memandangi langit-langit
kamarnya lalu kemudian menarik nafas panjang.
Dipandangnya lekat-lekat semua kertas
yang ada dihadapannya itu. Belum ada satu kalimat pun yang tertulis diatasnya.
Entah mengapa saat itu Sandi benar-benar sedang tidak mood untuk menulis. Tetapi apa daya, deadline menantinya di depan
gerbang peruntungannya.
Semilir angin yang keluar dari kipas
angin reyotnya semakin menambah beku pikirannya. Sunyi senyap tak lagi ada
lantunan kidung yang keluar dari mulut lelaki buntal itu.
Mentari semakin tinggi menampakkan
auratnya hingga sinar-sinarnya menerobos berlarian masuk ke sela-sela lubang
ventilasi ruang Sandi. Dentingan suara jam dinding semakin menambah kegalauan
dan emosinya. Raut wajahnya semakin tak menentu. Sesekali dia meremas-remas
jemari tangannya dan terkadang menggaruk-garuk kepalanya sendiri.
Dia frustasi dan tak tahu harus
bagaimana menyusun kata-kata dalam sebuah tulisan.
Inikah titik dimana seorang penulis tak mampu menulis?
Batinnya semakin terusik saat
diterimanya surat elektronik dari sang pimpinan redaksi.
Sesaat dia teringat akan
nasihat-nasihat almarhum ayahnya yang selalu berkata bahwa penulis adalah
manusia terhebat disepanjang masa. Karena hanya penulislah satu-satunya
manusia yang mampu mengonversikan ucapan, perasaan, penglihatan dan suara ke
dalam sebuah tulisan. Bahkan aroma sekalipun dia mampu.
Detik berikutnya Sandi tersenyum dan
meyakini akan perkataan almarhum ayahnya itu. Memang dunia penulis adalah dunia
yang fana, namun kefanaan dunia tersebutlah yang mampu menggerakkan seluruh
inderanya untuk dapat melukiskan dalam sebuah kata beruntun.
Sepuluh menit telah berlalu. Diregangkannya
kembali seluruh syaraf-syaraf yang ada di tubuhnya. Sandi menguap tak mampu
menahan rasa kantuk yang menjalari dirinya. Pada akhirnya dia mulai tergugah.
Jari-jemari tangannya perlahan menari-nari menuju arah pensil yang sudah
dirautnya tadi dan dia pun mulai menulis beberapa kalimat...
Sepuluh Menit.
Denting jam sudah menunjukkan pukul lima. Fajar menyingsing dan
surya pun perlahan mengintip memancarkan semerbak sinarnya yang menyapu embun
di setiap helai daun-daun pepohonan...
0 komentar:
Posting Komentar