Kali ini, sepintas
jalan setapak sepakat kita lupakan. Hari itu hanya langit yang menangis
menggeru. Ya, bukan aku – atau bahkan kamu. Kita hampir saling menipu perasaan
diri kita masing-masing. Aku yang saat itu memang tak ingin menatap langit,
berusaha menahan semua asa yang sia-sia.
Apa? Apa! Apa, Apa.
Tak tahan empedu ini
menyaring kotornya darah yang mengalir di tubuhku.
Bahkan dirimu tak
menyentuhku. Apa? Semuanya hanya sia-sia. Kali ini, sepintas jalan setapak
ini sudah tak layak kulewati lagi. Tak layak untuk kukenang lagi. Bahkan
dirimu.
Apa! Apa kamu tahu
mengapa aku melakukan semua ini? Jangan tanya apa padaku! Hatimu pasti sudah
tahu apa.
Aku tak ingin ketika
kulewati jalan ini, ku teringat kembali sosok itu yang dengan lembut membelai
dan menciummu. Apa? Aku hampir tak habis kata.
Kamu membiarkannya
melakukan apa yang sesungguhnya mungkin ada di benakmu. Yang saat itu mungkin
benar-benar sudah tidak ada aku didalamnya. Ah, apa aku bilang. Sungguh keparat
kamu memasuki jiwa ini.
Bahkan mendengar
namamu pun tak sudi aku. Intan ini sudah tak berguna lagi. Aku rasa benda ini
lebih pantas terselip di jari seekor anjing Puddle.
Aku, biarlah semua
ini berlalu lurus bak hujan yang menetes tepat di tiap-tiap tanah. Biarlah
jalan ini kukubur selama-lamanya. Biarlah anak-anakku kini berlari mengejar
bola-bola asa tujuan hidup mereka dengan seorang imam yang terpercaya.
Ya, seperti dia...
Aku merasa tlah
memiliki surga karena tlah memilih dia...
Ya..
“Muah..” tiba-tiba
seorang pria datang mencium kepalaku dengan diiringi dua gadis kecil yang
memelukku dari belakang.
“... jangan terlalu
lelah” lanjutnya.
Aku berbalik arah
lalu berdiri merengkuh lengannya sambil berbisik, “.. ibu benar-benar tak salah
memilihmu untukku..”
Ya, dia senantiasa
memperhatikanku. Bahkan porsi makanku pun yang terhitung hal yang tidak penting
selalu dia atur sedemikian sempurnanya. Dia tak pernah mengagung-agungkan bunda
hanya bila di muka saja. Sungguh, sifatnya sejak pertama kali aku bertatap muka
selalu sama. Bahkan hingga detik ini...
“... Lin, kalau mau
latihan ngendarai mobil, yang dilihat jalan rayanya dong. Jangan aku, hiihh”
Aku terhenyak. Segera
kutekan tombol start Picanto merah itu dan perlahan menjauh dari halaman rumah.
Si bungsu tengah
tidur dengan bunda kala itu.
Kira-kira sepuluh
menit lagi kita sampai di SD Harapan Bangsa. Lega, dua puluh menit yang
menegangkan bagiku. Setelah ini mungkin harus kuserahkan kemudi ini padanya
agar Natasha bisa istirahat sejenak dalam mobil tanpa kembang kempis napasku
menahan kendali rem dan gas yang selalu tak bisa balance.
“Mamaaah..” suaranya
sungguh membuat dada ini sesak. Harus kuakui bahwa dialah satu-satunya nyawaku
yang terpisah dari ragaku.
Kutuntun Natasha
hingga ke depan pintu mobil. Detik yang terlampau cepat hingga tak bisa kuingat
kembali semuanya..
Seseorang berlari
kencang dari arah barat menabrak Natasha hingga jatuh terjembab di aspal. Aku
menjerit keras. Pram keluar dari mobil dan segera meraih Natasha.
Orang itu jatuh tepat
disampingku diikuti teriakan orang-orang disekitarku yang turut berlari sembari
mengumpat, menyebutnya “copet...!!”
“maaf mbak,” katanya
sambil berlalu menjauh dariku.
Dia hafal betul
makanan apa yang aku sukai maupun tidak aku sukai. Dia tahu seberapa banyak
bubuk merica yang perlu dia taburkan pada mangkokku saat kita pergi dinner
menyantap sup jagung. Berbeda sekali. Kau bahkan lupa ulang tahunku...
Aku ingat.. Jelas, sangat
jelas..
Wajah itu, dengan
mata merah dan bau alkohol yang menyeruak dari mulutnya saat dia berkata
‘maaf’, dan lesung pipi yang sejak dulu aku idolakan saat kita pertama kali
bertemu di perpustakaan fakultas hukum. Semuanya..
Aryo..
Apa sesungguhnya yang
kau perbuat?
Bermain dengan
berbagai macam jenis wanita? Menghancurkan rencana pernikahan yang telah kita
persiapkan? Mencuri tas orang? Menabrak putriku hingga koma lima hari?
Membuatnya gegar otak ringan akibat benturan keras yang kau lakukan?
Aku sungguh tak sudi
mengingat namamu lagi...
0 komentar:
Posting Komentar